Oleh: Misbahuddin
Hari ini saya ingin
berbagi tulisan tentang potret kemoderenan dan Timur Tengah. Tulisan ini
terinspirasi dari karya seni seorang seniman fotografi di Turki, Ugur
Gallenkus. Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah karya dari akunnya
(@ugurgallen) yang terpampang di laman pencarian instagram. Setelah menelusuri
setiap postingannya, ternyata ia adalah seorang seniman bergenre humanis. Ia
menjadikan seni sebagai wadah kritik atas krisis kemanusiaan di Timur Tengah.
Hal inilah yang membuat saya berkeinginan untuk mengabadikan beberapa karyanya
ke dalam bentuk tulisan.
Sebelum menulis tentang
postingan yang bersangkutan, saya berusaha mengintip sedikit tentang
biografinya. Ternyata, pria kelahiran Nigde/Turki tahun 1990 ini adalah seorang
lulusan sekolah Administrasi Bisnis. Sama sekali jauh dari seni digital yang
digelutinya saat ini. Ia belajar secara otodidak tentang seni kombinasi
foto-foto hasil jepretan fotografer. Dari sinilah ia mulai menghasilkan banyak
karya yang berkelas dan diminati banyak orang. Setiap foto yang ia gabungkan
terlihat begitu rapi dan seolah menyatu sempurna. Sejauh ini karyanya berhasil
menggiring dan memancing interpretasi banyak kalangan. Hal ini terlihat dari
ribuan pujian dan komentar di kolom postingan media sosialnya. Menurut saya, ia
adalah seorang seniman yang sangat kreatif. Dedikasinya pada seni membuatnya
begitu total dalam memoles jepretan beberapa fotografer dan wartawan perang. Ia sangat piawai memadukan dua foto berbeda ke adalam satu bingkai utuh, sehingga sarat akan nilai
seni dan lebih kaya makna. Hal inilah yang menurut saya layak untuk diberi apresiasi. Paling tidak bentuk apresiasi kecil yang bisa saya lakukan adalah menulis
pesan yang tersirat dalam beberapa kolase digitalnya. Pesan yang berusaha dimaknai secara utuh, untuk dijadikan nyawa dalam tulisan ini.
Perhatian awal saya
tertuju pada foto Liberty yang dua kali muncul dalam banyak postingannya. Kedua hasil
karya ini sangat mirip. Foto patung ini berhasil dikombinasikan dengan foto
lengan seorang tentara yang mendongakkan senjata AK-47 ke langit. Sementara diketahui, bahwa penampakan asli patung ini sebenarnya sedang menggenggam obor yang menyala. Saat pertamakali mengamatinya, aura tirani, kekerasan, dan gejolak konflik di dalamnya begitu terasa. Sejenak postingan ini terus berusaha meliarkan nalar. Benar-benar memberi
isyarat, bahwa karya ini memang tidak hanya sekadar untuk dipandangi.
Penting diketahui, bahwa Patung Liberty adalah
hadiah dari Perancis untuk AS sebagai simbol kebebasan. Tentu akan terlihat timpang dengan keberadaan senapan mesin di tangannya. Kesan alibi AS sebagai negeri tirani namun berkedok intrik pembebasan nampak
sangat ingin ditonjolkan oleh sang seniman. Alih-alih menjadi icon kebebasan,
patung paling populer di negeri Paman Sam itu justru terlihat tidak lebih
sebagai arogansi dari legitimasi militer AS. Langit yang me-merah, kepulan
asap, serta potongan mobil peluncur roket yang ada di sisi lain patung terlihat
sangat identik dengan nuansa Timur Tengah. Keterangan tertulis dalam karya
tersebut memang menginformasikan bahwa foto pelengkap itu adalah simbol
perlawanan pendukung setia Khadafi (2011) dan operasi militer Iraq atas ISIS
(2016).
Beberapa kalangan oksidentalis meyakini AS adalah sutradara pemegang kuasa atas kisah awal dan akhir dari
peristiwa-peristiwa itu. Sejak dahulu AS selalu diyakini berperan dalam
konspirasi konflik di Timur Tengah. Dalam karya Gallenkus, Patung Liberty
sebagai simbol pembebasan justru ingin ditampilakan sebagai sosok solusi yang
gagal dan penuh kemunafikan. Memang tidak ada alasan yang lebih kuat untuk hal ini,
kecuali kenyataan bahwa para tuan rumah belum bisa merasakan idahnya kebebasan hidup.
Secara tidak langsung, gelora konflik di tanah Bulan Sabit Subur telah menjadi sarana ampuh untuk
mematikan singa-singa padang pasir. Sejarah telah berbicara banyak untuk
persoalan ini. Andalusia runtuh karena adanya konflik internal kerajaan. Begitu
juga Konstantinopel, jatuh akibat pertentangan kepausan dengan para ortodoks
Kristen. Di tanah para penakluk kini, politik adudomba dan konflik terus
bergelora tiada henti. Di sana tidak lagi banyak kebun ilmu pengetahuan,
kecuali hanya lahan-lahan subur tempat segala ironi itu tumbuh.
Membahas liberty dengan senjata di tangannya menjadi opening yang tepat. Karya-karya Gallenkus yang lainnya nampak sangat terikat dengan sentimennya terhadap AS. Berikut ini saya akan
mencoba mengurai beberapa karya-karyanya agar tertulis sistematis. Nampaknya
tidak salah jika ironi ini dimulai dari aspek pendidikan. Foto Anak-anak
perempuan di peradaban seberang begitu gelisah menunggu Bus Sekolah tiba. Di
negeri porak-poranda hal ini tidak berlaku. Bangunan runtuh menutupi sebagian
besar jalanan, sehingga tidak ada Bus Sekolah berlalulalang. Gedung sekolah mereka pun
penuh lubang akibat ditembus timah panas. Bahkan, mereka tidak punya cukup konsentrasi
untuk sekadar belajar di kelas. Gedung usang itu adalah "kegelisahan" yang sewaktu-waktu
bisa runtuh dibombardir rudal.
Di satu lokasi,
terlihat potret pemuda membawa gitar spanyol bermoncong M-16. Anak seusia itu
harusnya bersantai bersama kekasih dan mengalunkan melodi penuh romansa. Namun,
di ruang lain ia hanyalah anak yang berambisi menembak mati para penjajah.
Tatapannya begitu dingin, seolah rongga antara kematian dan dirinya hanya
sekecil lubang peluru yang ada di dinding sekolah. Tidak pernah terdengar irama
musik cinta, yang ada hanya suara tangisan pilu dan dentuman meriam tank-tank penghancur. Di pose
lainnya, ada perbedaan yang terlihat sangat kontras. Betapa riangnya ketika
bersenam yoga bersama kawan-kawan seusia, namun nyatanya itu semua harus diterima sebagai bunga tidur.
Mereka yang dilanda tirani harus merentangkan tangan di tanah sendiri, agar
para tentara leluasa menggeledah tubuhnya. Tidak ada keriangan yang terpancar, kecuali dendam dan kebencian yang sukses menjalankan perannya sebagai ilusi hidup yang terus berkembang.
Mari beranjak sejenak, menilik dunia para vandalis yang tidak ingin luput terlibat. Ketika grafiti menjadi coretan populer di tembok-tembok
sudut kota modern, anak kecil berkulit kusam justru tertunduk lesuh di depan
tembok usang bergambar Scale RPG-7. Ya, ia baru saja menggambar sang Bazooka Launcher anti tank itu dengan menggunakan arang serpihan ledakan. Menyedihkan, mungkin tidak ada warna biru langit, pelangi, dan balon di pikirannya saat itu. Entah imajinasi dan inspirasi ngeri apa lagi yang akan lahir dari kepala sang anak kelak.
Di sebuah potret dari dunia
seberang, Donal Trump tidak begitu peduli dengan segala kehancuran itu. Ia nampak tetap memasang wajah garang dengan bongkahan gunung es
Artik di kepalanya. Tirani terlihat semakin membatu dan membekukan otak yang
jarang tersentuh hati itu. Sudah dapat dipastikan, bahwa akan sangat sulit berbicara tentang
cinta dan kasih sayang sesama kepadanya. Birahi kuasanya telah memuncak dan jauh lebih tinggi dari apapun. Kebekuan tinggal menunggu sedikit waktu untuk menutupi jiwa raganya.
Sebagai penutup tulisan
ini, saya akan mengangkat potret lukisan Bunda Maria yang dikombinasi dengan
pakaian putih berlumur darah. Inilah gambaran miris, betapa mereka (penyembah tirani)
tidak pernah meresapi pesan kebaikan yang dibawa oleh semua ajaran agama. Tidak peduli
ketika kesucian agama ternoda atas sikap mereka yang terus menindas. Lalu,
dengan sombongnya mengaku Tuhan menghendaki itu semua.