Selasa, 26 Mei 2020

Islammu Islamku

Oleh: Misbahuddin

Panggil saya Ghaliyah. Usiaku masih sangat muda, 13 tahun, mungkin kita seusia. Seperti engkau, saya juga memiliki banyak teman. Kami sering melakukan banyak hal bersama, saling memberi, dan juga saling berkasihsayang. Saya tahu, kalian juga sering melakukan hal-hal seperti itu, Insya Allah. Meski demikian, saya merasa ada hal yang berbeda dari dunia kita. Banyak, namun kali ini saya ingin sekali bercerita tentang Islammu dan Islamku.

Saudaraku, udara di sini begitu menyesakkan. Cengkraman kabut tebal tiada hentinya mencekik, menyinggahi segala bangunan yang ada, hingga semesta pandangan terlihat suram. Tidak jarang mata ini pun perih dan merah berair dibuatya. Kuberitahu, kabutku berpasir pekat dari puing, hitam, dan hampa akan kesejukan. Kau dan udaramu tidak seperti ini bukan? Islammu, Islamku.

Saudaraku, angin di sini berbeda. Tiada nyanyian sejuk yang menyipta hembusan kedamaian jiwa. Satu-satunya yang selalu menerpa adalah sepoi kepiluan bersama rintih menyayat hati. Tentu ini bukan simfoni yang kalian suka. Kepiluan yang diiringi bising berdentum dan membawa kobaran api membara sepanjang siang dan malam. Saya bahkan tidak pernah berani bermimpi, untuk dapat terlelap oleh alunan syair-syair indah. Kulihat kau dan anginmu tidak begini, Islammu, Islamku.

Saudaraku, cerah di sini hanyalah kekhawatiran tidak berujung. Hidupku ada di bawah langit dan mentari yang suram tertetutup asap kehancuran. Tanah tanpa tanaman, kami bahkan makan dari belas kasih negeri lain. Di sekitarku senyum bahagia bisa seketika sirna, berubah menjadi ratap tangis kehilangan orang-orang terkasih. Lihatlah di jalanan kota, anak-anak meratapi jasad orang tuanya, seorang ayah mendekap anaknya yang bersimbah darah, dan seorang ibu meratapi suami dan anaknya yang sedang sekarat. Cerahmu tidak seperti ini bukan? Islammu, Islamku.

Saudaraku, malam di sini tidak pernah begitu terang. Kami lebih banyak menghias rumah-rumah dengan lentera seadanya. Satu-satunya cahaya terang bagiku adalah binar mata Ibuku. Ia yang terus mendekap, menenangkan, dan menaungi hati dengan lantun qalam Ilahi. Ia juga selalu menguatkan iman dan jiwaku, agar tetap tegar meratapi kakiku yang tidak lagi utuh. Ia tidak pernah lupa menutup sayatan malam dengan munajah. Bermohon pada Sang Maha Cinta untuk keselamatan kami, juga untuk ayah dan adik yang sudah lebih dahulu berpulang ke haribanNya. Malammu tidak akan pernah seperti ini, Islammu, Islamku.

Saudaraku, itulah sepenggal ceritaku saat ini. Jangan terlalu terbawa dalam cobaanku yang menyedihkan, namun pikirkanlah betapa besar anugerahNya kepadamu kini. Tenggelamkanlah segala kufur yang ada ke dalam samudera cintaNya. Jangan biarkan beningnya telaga syukurmu menghitam sepekat embun tirani yang menyelimutiku kini. Kukuhkanlah qalbumu merawat kesyukuran itu dalam menjalani kehidupan duniawi, agar kita tidak lagi berbeda, agar kita selalu kuat, dalam Islammu, Islamku.

4 komentar: