Rabu, 03 Juni 2020

Cermin Peradaban

Oleh: Misbahuddin

Selama ini kita banyak belajar tentang Peradaban Islam. Tatanan kehidupan yang hadir dengan semangat Alquran, meninggi dalam cinta ilahi, lalu runtuh dengan kompleksitas kekeliruan umat. Di masa terakhirnya, peradaban tinggi menjadi stagnan dan hampir kehilangan arah. Ada banyak persoalan yang melatarinya, mulai dari krisis moral, penguasa lalim, perang saudara, serta penyakit jahiliyah kronis lainnya. Situasi ini menunjukkan, bahwa sebelum peradaban asing datang meruntuhkannya, sebenarnya peradaban tinggi itu telah lebih dulu melakukan proses “bunuh diri.”

Sejarah telah banyak bercerita, di masa itu negeri-negeri Islam tiada hentinya berkubang tikai. Berbagai kekacauan internal sengaja dibudayakan demi ambisi pribadi dan kelompok tertentu. Mereka sering menyampingkan tujuan utama, yakni menyiptakan sebuah peradaban yang senantiasa dipenuhi nilai keadaban. Kenyataannya, Mereka menggunakan kekuasaan dan ilmu pengetahuan untuk mengalirkan darah sesama, adudomba, dan menginjak nilai-nilai kemanusiaan.

Di masa keemasannya, Baghdad, Damaskus, dan Andalusia adalah kota kosmopolit yang menjadi poros dunia. Di dalamnya bergelora pencapaian ilmu pengetahuan dan berbagai kemegahan hidup. Tokoh-tokoh tersohor dunia banyak bermunculan dari kota-kota itu. Dunia bahkan mengidolakan dan mengejar mereka untuk sekadar mengais ilmu. Akan tetapi, sekali lagi semua itu nampak sia-sia, obsesi para maniak kekuasaan dan pemuja suku telah menelantarkan segala yang dicapai. Mereka secara sadar mengikis langit peradaban yang dirangkai oleh manusia-manusia terbaik Islam. Jika sudah seperti ini, tidak perlu menunggu lawan menghujam, tanpa dibunuhpun peradaban akan mati dengan sendirinya.

Fakta-fakta miris memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban lalu kita. Ketika Umawiyah memegang kendali kekuasaan, mereka dituding oleh banyak sejarawan sebagai perintis praktik kelaliman. Sebenarnya agak tabu, namun itulah faktanya. Atas alasan kekuasaan, pasukan Yazid bin Muawiyah berhasil memenggal kepala Al-Husain, cucu Rasulullah s.a.w. peristiwa ini bahkan masih menorehkan luka mendalam bagi para pengikutnya hingga saat ini. Di bawah kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, pasukan Al-Hajjaj juga memenggal kepala putra sahabat Rasulullah di Makkah. Tubuh Abdullah bin Zubair disalib sambil meneriakkan takbir. Di waktu yang lain, perang saudara antara Al-Walid II dan Yazid III juga tidak luput menorehkan sejarah kelam. Kepala Al-Walid II dipenggal dan ditancapkan ke ujung tombak, kemudian diarak di jalanan pasar Kota Damaskus. Begitulah seterusnya hingga imperium besar Umawiyah dengan mudah dilengserkan klan Abbasiyah.

Masa Abbasiyah yang dikenal dengan masa keemasan Islam juga meninggalkan sejarah hitamnya. Ketika sisa-sisa keluarga besar Umawiyah–pasca keruntuhan Dinasti Umayyah–dijamu makan malam oleh Al-Saffah, tempat itu justru menjadi malam terakhir bagi mereka. Mereka dibantai dan dijadikan alas bersama lembaran permadani di ruang makan sang penguasa. Sama halnya dengan Umawiyah, imperium mereka pun diwarnai dengan aliran darah dari rangkaian perang saudara. Peperangan kedua purta Harun al- Rasyid adalah salah satu yang terburuk. Pertikaian antara Al-Amin dan Al-Ma’mun ini bahkan digelari sebagai “fitnah keempat” dalam Islam. Begitu juga dengan perang antara Al-Mu’taz dengan pamannya sendiri, Al-Musta’in. Seperti sebelumnya, perang perebutan kekuasaan itu juga diakhiri dengan kepala sang paman yang terpenggal.

Sisa-sia kekejian peradaban tersebut nampak terus berlanjut hingga saat ini, tentunya sudah dalam bentuk yang berbeda. Di masa modern, mereka telah bertransformasi menjadi kekuatan asing yang hidup dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Kelompok itu membaiat diri sebagai perintis kebangkitan kedua peradaban Islam dan mencanangkan Khilafah Islamiyah sebagai inti doktrinnya. Masyarakat negeri yang begitu mencintai Islam nampak dengan mudah terpedaya. Kelompok itu mengetahui betul, bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa, semangat jihad pejuang Islam tidak bisa diragukan lagi. pintu inilah yang mereka manfaatkan dengan baik untuk merekrut massa pendukung. Mereka di godok untuk membenci demokrasi, berusaha melakukan pemberontakan, juga menebarkan berbagai terror paham kebencian.

Dalam perkembangannya, mereka kerap melontarkan kekecewaan mendalam atas carut-marut pemerintahan di negeri ini. Kekecewaan mereka terhadap demokrasi memang ada benarnya, namun keadaan itu tetap tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menumpahkan darah atas nama Al-Quran dan Hadist. Paham demokrasi pada hakikatnya mengalami proses pendewasaan. Sistem ini dapat dengan sendirinya memperbaiki diri dalam perjalanan waktu. Di banyak momentum, sejarah Islam masa awal pun dipenuhi dengan nilai-nilai demokrasi. Lain halnya dengan paham khilafah yang mereka anut, sesuatu yang sudah dianggap final dan sempurna. Mereka membawa simbol-simbol militansi agresif yang mengukuhkan kekerasan dan kebencian sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebuah paham aneh yang Rasulullah Muhammad s.a.w., pun tidak pernah mengajarkannya.

10 komentar:

  1. Statement ini yg sangat diincar oleh penikmat khilafah 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.... Cocok bro!
      Harus banyak-banyak menghandle.

      Hapus
  2. Sosialis punya sejarah dan masih dipraktikan di beberapa negara. Demokrasi juga, malah dianut mayoritas negara di muka bumi. Sejarah politik Islam mengalami diskontinue.

    BalasHapus
  3. Apriori yang tersajikan demikian lugas. Menggugah agar dapat menjadi pelajaran generasi ini. Intinya keren sekali tulisannya Cess

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukur, dunia blog bisa juga jadi lahan perlawanan stadz....

      Hapus
  4. Saya cuma mau bilang.... Ini ke + ren

    BalasHapus
  5. Sosialis punya sejarah dan masih dipraktikan di beberapa negara. Demokrasi juga, malah dianut mayoritas negara di muka bumi. Sejarah politik Islam mengalami diskontinue.

    BalasHapus