Oleh: Misbahuddin
Selama ini kita banyak
belajar tentang Peradaban Islam. Tatanan kehidupan yang hadir dengan semangat
Alquran, meninggi dalam cinta ilahi, lalu runtuh dengan kompleksitas kekeliruan
umat. Di masa terakhirnya, peradaban tinggi menjadi stagnan dan hampir kehilangan
arah. Ada banyak persoalan yang melatarinya, mulai dari krisis moral, penguasa
lalim, perang saudara, serta penyakit jahiliyah kronis lainnya. Situasi ini
menunjukkan, bahwa sebelum peradaban asing datang meruntuhkannya, sebenarnya peradaban
tinggi itu telah lebih dulu melakukan proses “bunuh diri.”
Sejarah telah banyak
bercerita, di masa itu negeri-negeri Islam tiada hentinya berkubang tikai. Berbagai
kekacauan internal sengaja dibudayakan demi ambisi pribadi dan kelompok
tertentu. Mereka sering menyampingkan tujuan utama, yakni menyiptakan sebuah
peradaban yang senantiasa dipenuhi nilai keadaban. Kenyataannya, Mereka menggunakan
kekuasaan dan ilmu pengetahuan untuk mengalirkan darah sesama, adudomba, dan
menginjak nilai-nilai kemanusiaan.
Di masa keemasannya, Baghdad,
Damaskus, dan Andalusia adalah kota kosmopolit yang menjadi poros dunia. Di
dalamnya bergelora pencapaian ilmu pengetahuan dan berbagai kemegahan hidup. Tokoh-tokoh
tersohor dunia banyak bermunculan dari kota-kota itu. Dunia bahkan mengidolakan
dan mengejar mereka untuk sekadar mengais ilmu. Akan tetapi, sekali lagi semua
itu nampak sia-sia, obsesi para maniak kekuasaan dan pemuja suku telah
menelantarkan segala yang dicapai. Mereka secara sadar mengikis langit
peradaban yang dirangkai oleh manusia-manusia terbaik Islam. Jika sudah seperti
ini, tidak perlu menunggu lawan menghujam, tanpa dibunuhpun peradaban akan mati
dengan sendirinya.
Fakta-fakta miris memang
tidak bisa dilepaskan dari peradaban lalu kita. Ketika Umawiyah memegang
kendali kekuasaan, mereka dituding oleh banyak sejarawan sebagai perintis praktik
kelaliman. Sebenarnya agak tabu, namun itulah faktanya. Atas alasan kekuasaan,
pasukan Yazid bin Muawiyah berhasil memenggal kepala Al-Husain, cucu Rasulullah
s.a.w. peristiwa ini bahkan masih menorehkan luka mendalam bagi para
pengikutnya hingga saat ini. Di bawah kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, pasukan
Al-Hajjaj juga memenggal kepala putra sahabat Rasulullah di Makkah. Tubuh Abdullah
bin Zubair disalib sambil meneriakkan takbir. Di waktu yang lain, perang
saudara antara Al-Walid II dan Yazid III juga tidak luput menorehkan sejarah
kelam. Kepala Al-Walid II dipenggal dan ditancapkan ke ujung tombak, kemudian
diarak di jalanan pasar Kota Damaskus. Begitulah seterusnya hingga imperium
besar Umawiyah dengan mudah dilengserkan klan Abbasiyah.
Masa Abbasiyah yang dikenal
dengan masa keemasan Islam juga meninggalkan sejarah hitamnya. Ketika sisa-sisa
keluarga besar Umawiyah–pasca keruntuhan Dinasti Umayyah–dijamu makan malam
oleh Al-Saffah, tempat itu justru menjadi malam terakhir bagi mereka. Mereka dibantai
dan dijadikan alas bersama lembaran permadani di ruang makan sang penguasa. Sama
halnya dengan Umawiyah, imperium mereka pun diwarnai dengan aliran darah dari rangkaian
perang saudara. Peperangan kedua purta Harun al- Rasyid adalah salah satu yang
terburuk. Pertikaian antara Al-Amin dan Al-Ma’mun ini bahkan digelari sebagai “fitnah keempat” dalam Islam. Begitu juga
dengan perang antara Al-Mu’taz dengan pamannya sendiri, Al-Musta’in. Seperti
sebelumnya, perang perebutan kekuasaan itu juga diakhiri dengan kepala sang
paman yang terpenggal.
Sisa-sia kekejian peradaban
tersebut nampak terus berlanjut hingga saat ini, tentunya sudah dalam bentuk
yang berbeda. Di masa modern, mereka telah bertransformasi menjadi kekuatan asing
yang hidup dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Kelompok itu membaiat
diri sebagai perintis kebangkitan kedua peradaban Islam dan mencanangkan Khilafah
Islamiyah sebagai inti doktrinnya. Masyarakat negeri yang begitu mencintai
Islam nampak dengan mudah terpedaya. Kelompok itu mengetahui betul, bahwa dalam
sejarah perjuangan bangsa, semangat jihad pejuang Islam tidak bisa diragukan
lagi. pintu inilah yang mereka manfaatkan dengan baik untuk merekrut massa
pendukung. Mereka di godok untuk membenci demokrasi, berusaha melakukan
pemberontakan, juga menebarkan berbagai terror
paham kebencian.
Dalam perkembangannya, mereka kerap melontarkan kekecewaan mendalam atas carut-marut pemerintahan di negeri ini. Kekecewaan mereka terhadap demokrasi memang ada benarnya, namun keadaan itu tetap tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menumpahkan darah atas nama Al-Quran dan Hadist. Paham demokrasi pada hakikatnya mengalami proses pendewasaan. Sistem ini dapat dengan sendirinya memperbaiki diri dalam perjalanan waktu. Di banyak momentum, sejarah Islam masa awal pun dipenuhi dengan nilai-nilai demokrasi. Lain halnya dengan paham khilafah yang mereka anut, sesuatu yang sudah dianggap final dan sempurna. Mereka membawa simbol-simbol militansi agresif yang mengukuhkan kekerasan dan kebencian sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebuah paham aneh yang Rasulullah Muhammad s.a.w., pun tidak pernah mengajarkannya.
Statement ini yg sangat diincar oleh penikmat khilafah 😅
BalasHapusHahaha.... Cocok bro!
HapusHarus banyak-banyak menghandle.
Sosialis punya sejarah dan masih dipraktikan di beberapa negara. Demokrasi juga, malah dianut mayoritas negara di muka bumi. Sejarah politik Islam mengalami diskontinue.
BalasHapusBenar pak!
HapusApriori yang tersajikan demikian lugas. Menggugah agar dapat menjadi pelajaran generasi ini. Intinya keren sekali tulisannya Cess
BalasHapusSyukur, dunia blog bisa juga jadi lahan perlawanan stadz....
HapusSaya cuma mau bilang.... Ini ke + ren
BalasHapusMakasih stadz...
HapusSosialis punya sejarah dan masih dipraktikan di beberapa negara. Demokrasi juga, malah dianut mayoritas negara di muka bumi. Sejarah politik Islam mengalami diskontinue.
BalasHapusStagnasi melelahkan yang kerap melengahkan.
Hapus