Selasa, 16 Juni 2020

Belajar Kualitas dari Penjajah

Oleh Misbahuddin

Menurut J.M.J. Pantouw, data yang memuat perjalanan kopra masa kolonial di Nusantara sangat terbatas. Literatur awal yang dapat diperoleh terkait keberadaan kopra era kolonial adalah “Een Pracische Handdleiding Over de Cocos Cultuur” tulisan E. Bolen tahun 1908 dan “Cocos Nucifera; Handboek voor de Kennis van den Cocos-Palm in Netherlands-Indie, Zijn Geschiedenis, Beschrijving, Cultuur, en Producten” oleh F.W.T. Hunger tahun 1916. Melalui tulisannya, Hunger menyatakan bahwa pelopor yang berperan dalam pengembangan kelapa di Nusantara (budidaya kelapa secara sistematis) adalah Moluksche Handels Maatshappij (MHM). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke 19 – di banyak tempat – negeri ini telah dilakukan penyadaran tentang makna penting kualitas. Memiliki tanaman kelapa yang ditanam, dirawat, dan diolah secara baik pasti akan memberikan hasil dengan kualitas terjamin. Hasil akhirnya tentu saja akan menjurus pada keuntungan maksimal.

Keadaan yang diuraikan sebelumnya dapat dikaitkan dengan adanya berbagai rintisan penanaman pohon kelapa oleh pemerintah kolonial Belanda awal abad ke-18.  Ada beberapa langkah awal yang diambil di beberapa wilayah, misalnya; (1) penanaman minimal 300 pohon kelapa pada perkampungan baru, (2) setiap orang yang akan menikah diharapkan terlebih dahulu menanam satu atau dua pohon kelapa di tanahnya sendiri, (3) bagi orang yang akan menikah diwajibkan mengambil bibit kelapa dari penghulu untuk ditanam pada tanah milik pejabat yang ditentukan. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang ditempuh pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah tanaman kelapa.

Pada fase berikut, mereka kemudian menerapkan regulasi perawatan tanaman kelapa. Di Ternate misalnya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan penanaman kelapa, yakni “Peraturan Penanaman Kelapa dan Perdagangan Kopra di  Keresidenan Ternate dan Sekitarnya”. Secara singkat, kebijakan itu dapat diuraikan sebagai berikut; (1) para pemilik, penyewa, dan pemakai  tanah, wajib membersihkan kebun kelapa miliknya agar gangguan hama tidak menular dan menjangkiti tanaman kelapa lain, tujuan utamanya ialah agar kumbang penyakit yang  sering mematikan kelapa di Ternate pada waktu itu dapat dicegah, (2) bagi penduduk yang  tidak membersihkan kebun dianggap melanggar dan akan membayar denda, yakni maksimal f25 untuk orang Eropa, sedangkan orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f10 (berlaku untuk pelanggaran pertama, pelanggaran berikutya denda akan dinaikkan sampai f50), (3) untuk mengefektifkan kebijakan tersebut, maka  di setiap distrik yang banyak ditumbuhi pohon kelapa dibentuk badan pengawas ketertiban kebun kelapa, (4) para pejabat dan petugas kepolisian berhak untuk memeriksa pekarangan, perkebunan, dan tanaman kelapa setiap pagi dan sore. Tindakan itu dimaksudkan untuk memastikan apakah aturan dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak, (5) pemilik kebun kelapa yang melanggar akan diberikan peringatan secara tertulis atas nama pemerintah distrik dan unsur yang terkait. Surat peringatan itu memuat  perintah agar dalam batas waktu tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan. Apabila dalam batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran akan menyusul. Peraturan itu dimuat dalam Javasche Courant (30 hari sebelum peraturan dimulai), tujuannya ialah agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang berpura-pura tidak mengetahuinya. Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal dan Cina.

Kemudian, dalam hal pengolahan juga dapat kita peroleh informasi dari aturan yang ditetapkan di Sumatera Barat, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan pemetikan buah kelapa dan pembuatan kopra, yakni; (1) daging kelapa harus dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari sebagai prioritas utama, untuk menghindari resiko adanya jamur pada daging kelapa, (2) daging kelapa yang dikeringkan dengan menggunakan asap sebaiknya tidak tersentuh api, tujuannya ialah untuk menghindari noda-noda hitam pada daging kelapa. Api harus dijaga untuk mencegah terlalu banyak asap dan menghindari terbakarnya daging kelapa, (3) kopra harus benar-benar kering sebelum meninggalkan tempat pengeringan untuk menghindari kelembaban yang menyebabkan kopra berjamur, (4) kopra harus ditampung di tempat yang terkena cukup udara dan cahaya, (5) memperjual belikan kopra yang belum kering, dihasilkan dari buah kelapa yang belum tua, kotor (bercampur tempurung) juga akan mendapat sanksi. Para Demang dan asistennya berhak memeriksa tempat pengeringan, bangunan, pekarangan, kebun, rumah, tempat pengolahan, dan kelayakan lokasi penampungan yang meyakinkan bagi para eksportir. Jika terjadi pelanggaran maka sanksi akan diterima dengan ganjaran f100 atau kurungan 8 hari bagi orang eropa, dan f100 untuk pribumi atau yang dipersamakan (jika tidak mampu maka akan dipekerjakan paksa pada proyek umum selama 30 hari tanpa upah).

Berdasarkan uraian aturan yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, secara sederhana memiliki tujuan umum sebagai berikut; (1) dengan mengawasi dan menekan jumlah kebun/tanaman kelapa yang ditanam secara berlebihan, akan memberikan peluang besar pada pemilik tanaman kelapa dalam memberikan perawatan maksimal terhadap lahan dan tanaman kelapanya, (2) melalui perawatan maksimal dan sistematis, hasil olahan kelapa (kopra) yang dihasilkan akan berkualitas tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa saat itu kopra adalah komoditi dagang yang sangat penting, sehingga kualitas selalu diutamakan, (3) tidak hanya pada penanaman dan perawatan, perhatian besar terhadap kondisi kopra saat diperjualbelikan menjadi penyempurna usaha pemerintah kolonial dalam menentukan kualitas akhir.

Meskipun diakui bahwa sejarah penjajahan Belanda telah menyisakan banyak dampak negatif, namun ada beberapa hal yang justru bisa berdampak sebaliknya. Perjalanan sejarah kopra era kolonial telah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat. Di masa lampau mereka telah menyiptakan standar tinggi dalam menghasilkan kopra berkualitas. Hal ini dapat menjadi bagian opsi solutif bagi kompleksitas permasalahan kopra di Indonesia. Pada kondisi kekinian, cerminan kualitas yang ditunjukkan masa lampau sudah sulit kita temukan. Sejujurnya kita harus mengakui kekalahan telak kopra masa kini atas kejayaannya di masa lampau. Dalam segala aspek; penanaman, pemetikan, dan pengolahan, serta pengawasan yang dilakukan secara tersistem, “kita benar-benar kalah”. Keberadaan sawit memang menjadi salah satu yang menjadi faktor merosotnya harga kopra, tetapi terlepas dari keadaan itu, harus diyakini bahwa kualitas tinggi tidak akan pernah tergeser dengan mudah oleh kemenangan produk massive.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar