Oleh Misbahuddin
Menurut J.M.J. Pantouw,
data yang memuat perjalanan kopra masa kolonial di Nusantara sangat terbatas. Literatur
awal yang dapat diperoleh terkait keberadaan kopra era kolonial adalah “Een Pracische Handdleiding Over de Cocos Cultuur”
tulisan E. Bolen tahun 1908 dan “Cocos
Nucifera; Handboek voor de Kennis van den Cocos-Palm in Netherlands-Indie, Zijn
Geschiedenis, Beschrijving, Cultuur, en Producten” oleh F.W.T. Hunger tahun
1916. Melalui tulisannya, Hunger menyatakan bahwa pelopor yang berperan dalam
pengembangan kelapa di Nusantara (budidaya kelapa secara sistematis) adalah Moluksche
Handels Maatshappij (MHM). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke
19 – di banyak tempat – negeri ini telah dilakukan penyadaran tentang makna
penting kualitas. Memiliki tanaman kelapa yang ditanam, dirawat, dan diolah
secara baik pasti akan memberikan hasil dengan kualitas terjamin. Hasil
akhirnya tentu saja akan menjurus pada keuntungan maksimal.
Keadaan
yang diuraikan sebelumnya dapat dikaitkan dengan adanya berbagai rintisan
penanaman pohon kelapa oleh pemerintah kolonial Belanda awal abad ke-18. Ada beberapa langkah awal yang diambil di
beberapa wilayah, misalnya; (1) penanaman minimal 300 pohon kelapa pada
perkampungan baru, (2) setiap orang yang akan menikah diharapkan terlebih
dahulu menanam satu atau dua pohon kelapa di tanahnya sendiri, (3) bagi orang
yang akan menikah diwajibkan mengambil bibit kelapa dari penghulu untuk ditanam
pada tanah milik pejabat yang ditentukan. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan
langkah awal yang ditempuh pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah
tanaman kelapa.
Pada
fase berikut, mereka kemudian menerapkan regulasi perawatan tanaman kelapa. Di
Ternate misalnya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan
penanaman kelapa,
yakni “Peraturan Penanaman Kelapa dan Perdagangan Kopra di
Keresidenan
Ternate dan Sekitarnya”.
Secara singkat, kebijakan itu dapat diuraikan sebagai berikut; (1) para pemilik,
penyewa, dan pemakai tanah, wajib membersihkan kebun kelapa miliknya agar gangguan
hama tidak menular dan
menjangkiti tanaman kelapa lain, tujuan utamanya
ialah agar kumbang penyakit yang sering mematikan kelapa di Ternate pada waktu itu dapat dicegah, (2) bagi penduduk
yang tidak membersihkan kebun dianggap melanggar dan akan membayar denda, yakni maksimal f25 untuk orang Eropa, sedangkan
orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f10
(berlaku untuk pelanggaran pertama, pelanggaran berikutya denda akan dinaikkan
sampai f50), (3) untuk
mengefektifkan kebijakan tersebut, maka di
setiap distrik yang banyak ditumbuhi pohon kelapa
dibentuk badan pengawas ketertiban kebun kelapa, (4) para pejabat dan petugas kepolisian
berhak untuk memeriksa pekarangan, perkebunan, dan tanaman kelapa setiap pagi
dan sore. Tindakan itu dimaksudkan untuk memastikan apakah aturan
dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak, (5) pemilik kebun
kelapa yang melanggar akan
diberikan
peringatan secara tertulis atas nama pemerintah distrik dan unsur yang
terkait. Surat peringatan itu memuat perintah agar dalam batas waktu
tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan. Apabila dalam
batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran akan menyusul.
Peraturan itu dimuat
dalam Javasche Courant (30 hari sebelum
peraturan dimulai),
tujuannya ialah agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang
berpura-pura tidak mengetahuinya. Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat
kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal dan Cina.
Kemudian,
dalam hal pengolahan juga dapat kita peroleh informasi dari aturan yang
ditetapkan di Sumatera Barat, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan
pemetikan buah kelapa dan pembuatan kopra, yakni; (1) daging kelapa harus
dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari sebagai prioritas utama, untuk
menghindari resiko adanya jamur pada daging kelapa, (2) daging kelapa yang
dikeringkan dengan menggunakan asap sebaiknya tidak tersentuh api, tujuannya
ialah untuk menghindari noda-noda hitam pada daging kelapa. Api harus dijaga
untuk mencegah terlalu banyak asap dan menghindari terbakarnya daging kelapa,
(3) kopra harus benar-benar kering sebelum meninggalkan tempat pengeringan
untuk menghindari kelembaban yang menyebabkan kopra berjamur, (4) kopra harus
ditampung di tempat yang terkena cukup udara dan cahaya, (5) memperjual belikan
kopra yang belum kering, dihasilkan dari buah kelapa yang belum tua, kotor
(bercampur tempurung) juga akan mendapat sanksi. Para Demang dan asistennya berhak
memeriksa tempat pengeringan, bangunan, pekarangan, kebun, rumah, tempat
pengolahan, dan kelayakan lokasi penampungan yang meyakinkan bagi para
eksportir. Jika terjadi pelanggaran maka sanksi akan diterima dengan ganjaran f100 atau kurungan 8 hari bagi orang
eropa, dan f100 untuk pribumi atau
yang dipersamakan (jika tidak mampu maka akan dipekerjakan paksa pada proyek
umum selama 30 hari tanpa upah).
Berdasarkan
uraian aturan yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda,
secara sederhana memiliki tujuan umum sebagai berikut; (1) dengan mengawasi dan
menekan jumlah kebun/tanaman kelapa yang ditanam secara berlebihan, akan
memberikan peluang besar pada pemilik tanaman kelapa dalam memberikan perawatan
maksimal terhadap lahan dan tanaman kelapanya, (2) melalui perawatan maksimal
dan sistematis, hasil olahan kelapa (kopra)
yang dihasilkan akan berkualitas tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa saat itu
kopra adalah komoditi dagang yang sangat penting, sehingga kualitas selalu
diutamakan, (3) tidak hanya pada penanaman dan perawatan, perhatian besar terhadap
kondisi kopra saat diperjualbelikan menjadi penyempurna usaha pemerintah
kolonial dalam menentukan kualitas akhir.
Meskipun diakui bahwa sejarah penjajahan Belanda telah menyisakan banyak dampak negatif, namun ada beberapa hal yang justru bisa berdampak sebaliknya. Perjalanan sejarah kopra era kolonial telah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat. Di masa lampau mereka telah menyiptakan standar tinggi dalam menghasilkan kopra berkualitas. Hal ini dapat menjadi bagian opsi solutif bagi kompleksitas permasalahan kopra di Indonesia. Pada kondisi kekinian, cerminan kualitas yang ditunjukkan masa lampau sudah sulit kita temukan. Sejujurnya kita harus mengakui kekalahan telak kopra masa kini atas kejayaannya di masa lampau. Dalam segala aspek; penanaman, pemetikan, dan pengolahan, serta pengawasan yang dilakukan secara tersistem, “kita benar-benar kalah”. Keberadaan sawit memang menjadi salah satu yang menjadi faktor merosotnya harga kopra, tetapi terlepas dari keadaan itu, harus diyakini bahwa kualitas tinggi tidak akan pernah tergeser dengan mudah oleh kemenangan produk massive.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar