Selasa, 09 Juni 2020

Istana Pasir

Oleh Misbahuddin

Akhir-akhir ini Dunia dipertontonkan fakta paling jahiliyah dalam sejarah umat manusia. Lakonnya diperankan oleh warga Hollywood yang lupa di zaman apa mereka hidup. Bukankan saat ini kita sudah berada di era yang non-inferior? Tetapi, nyatanya mereka terus merasa paling modern dengan mencerca fisik dan kultur bangsa lain. Sungguh kenyataan ini begitu telak, bahwa manusia-manusia ini masih lebih primitif dari yang pernah terbayangkan. Apakah mungkin kedangkalan ini sengaja dirawat demi budaya yang Amerika-sentris? Entahlah, rasisme dan xenophobia masih begitu sulit dilepaskan dari sejarah kecacatan batin masyarakatnya. Hal yang pasti, diskriminasi sosial, segregasi, dan kekerasan rasial akan terus menjadi bagian tidak terpisahkan di negeri itu. Mereka yang terlanjur melegitimasi suku dan rasnya sendiri, tentu harus siap mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah bisa dituntaskan.

Koar humanisme mereka terlihat tidak lebih dari kepulan asap cerutu pecundang yang membual dan impulsif. Nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, demokrasi dan lainnya mereka pajang dalam keadaan mabuk sambil menutup mata dan kuping. Tidak heran, jika secara historis kedangkalan mereka tidak pernah bisa memahami situasi sesama. Mereka dengan sombongnya menebar polemik baru di atas drama pandemi yang belum tuntas ini. Ketika kehidupan manusia di luar sana banyak yang terancam, mereka justru sibuk menebar kebencian pada sesama.

Umat Islam tentu tidak boleh terbawa dalam idiom Amerika itu. Jagan sampai terlalu tenggelam dalam pusaran kemajuan peradaban yang mereka capai. Pasrah tidak boleh jadi pilihan, apalagi membiarkan negeri ini terbenam dalam samudera hedonisme dan kebebasan yang tidak terkendali. Kesadaran bahwa tidak semua yang dari mereka itu boleh diikuti harus tetap terjaga. Autentisitas keislaman harus dipahami dan diperlihatkan. Mereka harus kembali belajar untuk mengingat, bahwa jauh sebelum mereka mengenal adab, umat Islam telah menyelesaikan semua persoalan ini.

Momentum Iqra’ yang merengkuh jiwa Muhammad s.a.w., sekaligus menjadi penanda terbukanya pintu keadaban terbaik dalam sejarah umat manusia. Di tengah eskatologi jahiliyah, dialah satu-satunya yang bangkit merangkul manusia di segala paras, suku, dan golongan. Dalam hegemoni dan tekanan suku-suku terkuat, ia tetap mengajarkan cinta dan kesamaan derajat di hadapan Yang Maha Tunggal. Bersamaan dengan itu semua, sampai saat ini Islam mampu menjadi cermin bagi seluruh umat manusia.

Peristiwa yang dialami Bilal harusnya menjadi ingatan abadi paras musafir peradaban. Bilal seorang Abissina/Utopia berkulit gelap yang berhasil membungkam kecongkakan etnosentrisme Quraisy. Ia adalah mantan budak yang memanjat Ka’bah dan mengumandangkan adzan sesaat setelah Fath al-Makkah. Sebuah legitimasi kesamaan hak dalam Islam yang tuntas ia perlihatkan di hadapan para pemuja suku.

Di era ini, umat manapun tidak akan melupakan nama Al-Faruq, Umar. Ia adalah salah satu penguasa besar Dunia di masanya, penerus ajaran sang nabi yang begitu paham akan kemanusiaan. Tidak heran jika Kisra Persia dan penguasa Romawi begitu kagum dengan kepemimpinannya. Ia sosok keras dan tegas pada kemungkaran, namun hatinya akan menangis melihat pengemis Yahudi terlunta di jalanan kota Madinah. Persitiwa itu yang kelak menyiptakan kebijakannya, bahwa dalam Bait al-Mal terdapat hak para Ahlul Kitab. Jadi sekali lagi, Islam telah menuntaskan persoalan ini sejak berabad lalu.

Masih terlalu banyak teladan dalam Islam untuk persoalan rasis semacam ini. Titik peradaban telah bermula, meninggi, lalu berganti ke peradaban baru melalui tokoh-tokoh lintas masa dalam Islam. Waktu telah membuktikan segala kebenaran ini. Waktu juga yang telah menunjukkan runtuh dan hancurnya peradaban yang berdiri di atas congkak dan kesombongan golongan. Yakinlah bahwa Islam tidak pernah membangun peradaban dengan Istana Pasir bertiang rasisme. Sesungguhnya peradaban semacam itu hanya milik golongan bangsa yang bersujud pada berhala-berhala lamanya.

7 komentar: