Oleh Misbahuddin
Akhir-akhir ini Dunia dipertontonkan
fakta paling jahiliyah dalam sejarah umat manusia. Lakonnya diperankan oleh warga
Hollywood yang lupa di zaman apa mereka hidup. Bukankan saat ini kita sudah berada
di era yang non-inferior? Tetapi, nyatanya mereka terus merasa paling modern
dengan mencerca fisik dan kultur bangsa lain. Sungguh kenyataan ini begitu
telak, bahwa manusia-manusia ini masih lebih primitif dari yang pernah terbayangkan.
Apakah mungkin kedangkalan ini sengaja dirawat demi budaya yang Amerika-sentris?
Entahlah, rasisme dan xenophobia masih begitu sulit dilepaskan dari sejarah kecacatan
batin masyarakatnya. Hal yang pasti, diskriminasi sosial, segregasi, dan
kekerasan rasial akan terus menjadi bagian tidak terpisahkan di negeri itu.
Mereka yang terlanjur melegitimasi suku dan rasnya sendiri, tentu harus siap mengerjakan
pekerjaan rumah yang tidak akan pernah bisa dituntaskan.
Koar humanisme mereka terlihat
tidak lebih dari kepulan asap cerutu pecundang yang membual dan impulsif. Nilai-nilai
kemanusiaan, hak asasi manusia, demokrasi dan lainnya mereka pajang dalam
keadaan mabuk sambil menutup mata dan kuping. Tidak heran, jika secara historis
kedangkalan mereka tidak pernah bisa memahami situasi sesama. Mereka dengan sombongnya
menebar polemik baru di atas drama pandemi yang belum tuntas ini. Ketika
kehidupan manusia di luar sana banyak yang terancam, mereka justru sibuk
menebar kebencian pada sesama.
Umat Islam tentu tidak
boleh terbawa dalam idiom Amerika itu. Jagan sampai terlalu tenggelam dalam pusaran
kemajuan peradaban yang mereka capai. Pasrah tidak boleh jadi pilihan, apalagi
membiarkan negeri ini terbenam dalam samudera hedonisme dan kebebasan yang
tidak terkendali. Kesadaran bahwa tidak semua yang dari mereka itu boleh diikuti
harus tetap terjaga. Autentisitas keislaman harus dipahami dan diperlihatkan.
Mereka harus kembali belajar untuk mengingat, bahwa jauh sebelum mereka mengenal
adab, umat Islam telah menyelesaikan semua persoalan ini.
Momentum Iqra’ yang merengkuh jiwa Muhammad s.a.w., sekaligus menjadi penanda terbukanya pintu keadaban terbaik dalam sejarah umat
manusia. Di tengah eskatologi jahiliyah, dialah satu-satunya yang bangkit merangkul
manusia di segala paras, suku, dan golongan. Dalam hegemoni dan tekanan
suku-suku terkuat, ia tetap mengajarkan cinta dan kesamaan derajat di hadapan
Yang Maha Tunggal. Bersamaan dengan itu semua, sampai saat ini Islam mampu menjadi
cermin bagi seluruh umat manusia.
Peristiwa yang dialami Bilal
harusnya menjadi ingatan abadi paras musafir peradaban. Bilal seorang Abissina/Utopia
berkulit gelap yang berhasil membungkam kecongkakan etnosentrisme Quraisy. Ia adalah
mantan budak yang memanjat Ka’bah dan mengumandangkan adzan sesaat setelah
Fath al-Makkah. Sebuah legitimasi kesamaan hak dalam Islam yang tuntas ia perlihatkan
di hadapan para pemuja suku.
Di era ini, umat manapun tidak akan
melupakan nama Al-Faruq, Umar. Ia adalah salah satu penguasa besar Dunia di masanya, penerus
ajaran sang nabi yang begitu paham akan kemanusiaan. Tidak heran jika Kisra
Persia dan penguasa Romawi begitu kagum dengan kepemimpinannya. Ia sosok keras
dan tegas pada kemungkaran, namun hatinya akan menangis melihat pengemis Yahudi
terlunta di jalanan kota Madinah. Persitiwa itu yang kelak menyiptakan
kebijakannya, bahwa dalam Bait al-Mal terdapat hak para Ahlul Kitab.
Jadi sekali lagi, Islam telah menuntaskan persoalan ini sejak berabad lalu.
Masih terlalu banyak teladan dalam Islam untuk persoalan rasis semacam ini. Titik peradaban telah bermula, meninggi, lalu berganti ke peradaban baru melalui tokoh-tokoh lintas masa dalam Islam. Waktu telah membuktikan segala kebenaran ini. Waktu juga yang telah menunjukkan runtuh dan hancurnya peradaban yang berdiri di atas congkak dan kesombongan golongan. Yakinlah bahwa Islam tidak pernah membangun peradaban dengan Istana Pasir bertiang rasisme. Sesungguhnya peradaban semacam itu hanya milik golongan bangsa yang bersujud pada berhala-berhala lamanya.
Memeras otak betul.!!
BalasHapusSesekali memeras ustadz hahaha....
HapusReflektif. Filosofis. Inspiratif.
BalasHapusTerima Kasih Pak Dr. Naim.
HapusReflektif. Filosofis. Inspiratif.
BalasHapusBahasanya meng obok2 emosi
BalasHapushahaha.... sampai diobok-obok bgt.
Hapus