Oleh Misbahuddin
Stereotip merupakan
bentuk penilaian kepada seseorang yang hanya didasari oleh persepsi terhadap
ruang/kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Keadaan ini sangat
identik dengan pemikiran singkat yang kerap dilakukan secara intuitif oleh
manusia. Hal itu dibutuhkan untuk menyederhanakan hal-hal kompleks yang tidak
terhindarkan atau ketika butuh menentukan keputusan secara cepat.
Meskipun tidak
dipungkiri adanya potensi positif dari hasil intuisi tersebut, dalam keadaan
tertentu kecenderungan negatif justru lebih mendominasi. Sekadar perbandingan
sederhana, mungkin dalam keadaan genting dan dalam himpitan waktu yang singkat,
stereotip sangat dibutuhkan demi lahirnya keputusan refleks. Dalam hal ini potensi
benar dan salah menjadi seimbang (lebih bersifat subjektif individual). Di sisi
lain, akan berdampak sangat negatif jika digunakan sebagai alternatif utama
dalam penelaahan yang jauh lebih rumit, ruang yang luas, dan membutuhkan waktu
lebih panjang. Misalnya, dalam persoalan sosial yang dapat secara langsung
berdampak pada kemasyarakatan.
Menyimak perjalanan
politik yang ada saat ini–khsusunya di Indonesia–kita tentu dipusingkan oleh
pertarungan tidak sehat yang kerap dipraktikkan oleh berbagai oknum dan
kelompok politik. Bahkan yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat
sebagai objek sekaligus simpatisan politik. Mereka adalah penyumbang suara yang
secara khusus menjadi penentu kalah dan menangnya kandidat. Dilematisnya, kecenderungan
pemahaman politik mereka yang boleh dikata jauh dari kata “paham” kerap
digunakan sebagai dasar untuk menganalisa informasi secara brutal. Tidak ada filter
dan pertimbangan khusus dalam menelaah informasi yang kebanyakan tidak jelas
asal-usulnya. Fakta-fakta unik semacam ini seringkali kita temukan dalam ruang
media sosial, sebuah wadah yang sangat nyaman dalam penyebaran hoax. Kecenderungannya, ketika informasi
yang didapatkan oleh orang tertentu dirasa sejalan dengan jalur politiknya,
maka dengan sendirinya sebuah analisa subjektif lahir dan menjadi kebenaran
baginya. Tidak ada kepedulian sama sekali untuk mempertimbangkan akan adanya
fakta empirik lain yang lebih otentik. Asalkan sejalan dengan jalur fanatisme
politik dirinya, maka itulah realitas kebenarannya. Parahnya lagi, kebenaran
subjektif yang berpotensi hoax tersebut
disebarkan melalui berbagai bentuk interaksi sosial.
Di kehidupan sehari-hari
kita kerap menyaksikan penyebaran hoax
yang tidak terkontrol. Informasi liar itu terus menggelinding, semakin
membesar, hingga merobohkan apa saja yang sudah dilaluinya. Keberadaan media
sosial adalah mesin utama yang membantu merealisasikan berbagai kekacauan dan
kerusakan berpikir itu. Pada akhirnya fenomena “konfirmasi bias” menjadi hal
yang wajar dan biasa saja, meskipun jelas-jelas menimbulkan fitnah dan
perpecahan. Hal yang semakin mengkhawatirkan, stereotip manusia merupakan
bagian yang identik dengan self defense
mechanism. Suatu tindak penyembunyian kelemahan diri yang cenderung dengan
jalan merendahkan orang lain. Persoalan inilah yang kemudian berkembang dalam
ranah lebih luas, yakni melakukan pembelaan kelompok dengan menekan/merendahkan
kelompok lain. Sebuah kompleksitas masalah yang real saat ini dan seringkali kita berhadapan langsung dengannya.
Secara umum subjektivitas
masyarakat dalam mendukung dan memilih tokoh politik yang diunggulkan tidak
bisa dihindari. Menjelang proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
lalu misalnya, seolah-olah mereka memiliki pemahaman paten bahwa kebenaran
mutlak adalah milik mereka dan golongannya, sementara golongan lain adalah sebaliknya.
Meskipun dalam realitasnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya
masing-masing calon pemimpin negara memiliki keunggulan dan kelemahan yang
dapat dibuktikan secara historis. Belum lagi jika sudah masuk pada ranah partai
pengusung dan partai pendukung dalam kompetisi politik tersebut, tentu
persoalan adanya kelemahan dan kelebihan masing-masing sudah jelas rekam
jejaknya. Melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa dalam berpolitik masyarakat
kita saat ini tidak dapat memisahkan antara dukungan murni dengan fanatisme dan
diskriminasi politik. Parahnya lagi, kondisi ini ada juga yang menyadari, namun
mereka memilih mengabaikan. Keadaan inilah yang tercermin di berbagai media,
fitnah yang satu bersitegang dengan fitnah-fitnah lainnya.
Sebagai masayarakat
yang setiap harinya bergelut di ruang media sosial, sudah selayaknya kita dapat
mengidentifikasi persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan untuk
menumbuhkan kesadaran dalam berpolitik yang sehat. Adanya kesadaran yang
demikian itu akan dengan sendirinya menekan tingkah laku oknum yang tidak bertanggungjawab
dalam menebarkan kebohongan. Bukankah kadang kita berteriak “jengah” dengan
janji-janji politik yang selangit itu? Tapi toh kenapa kita tidak pernah mengurai
kausalitas yang tidak bisa lepas dari respon itu sendiri?
Sahabat pembaca yang bijak,
tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga memiliki keterlibatan khusus atas
tingkahlaku politisi negeri ini. Melalui media sosial, warung kopi, dan ruang
lainnya, dimensi stereotip kita bahkan secara sadar telah menambahkan kayu
bakar dalam amuk api politik yang sedang menyala. Satu-satunya hal yang tidak
kita sadari, bahwa dengan mencerca tokoh-tokoh dan pelaku kolektif perpolitikan
negeri ini, kita sedang mencerca dan menyudutkan diri kita sendiri. Bijaknya
kita berpikir, janji-janji manis selangit yang mereka tawarkan juga muncul tidak
lepas dari kegaduhan “romantisme stereotip dan subjektivitas politik” yang
telah kita bangun beberapa waktu sebelumnya. Janji-janji politik yang semakin
hari kian meninggi dan saling beradu antara satu politisi dengan politisi
lainnya, nyatanya banyak berujung pada sekadar kompetisi janji manis.
Fenomena ini adalah hal yang sebenarnya tidak pernah kita inginkan, tapi atas alasan kepentingan, cari aman, dan lain hal, kadang dapat melarutkan kesadaran kita untuk menjadi acuh. Jika memang kita masih menghendaki negeri ini dapat lebih baik dari sebelumnya, apa salahnya jika kita mulai meninggalkan praktik-praktik politik negatif yang selama ini dilakoni. Menyudahi peran aktif kita dalam menyulut api politik akan sangat bijak adanya. Setidaknya dengan kecerdasan politik semacam itu kita dapat mengurangi ambisi mereka untuk menebar janji selangit. Bahkan, sebenarnya bisa meminimalisir segala resiko buruk lainnya dalam masyarakat. Anggap saja tindakan kesadaran ini akan menjadi kado termanis untuk anak cucu kita kelak. Sebuah bukti bahwa api jiwa patriotisme di negeri ini–Indonesia–jauh lebih berhak untuk dibarakan, ketimbang mengikuti arus fitnah-fitnah politik yang sudah tidak terkendali.
Saya sudah membacanya Ustadz, analisis calon ayah. Jos.😁
BalasHapushahaha... makasih ustadz, efek jurus tulis apa aja.
Hapus