Selasa, 23 Juni 2020

Dimensi Stereotip dalam Politik Negeri

Oleh Misbahuddin

Stereotip merupakan bentuk penilaian kepada seseorang yang hanya didasari oleh persepsi terhadap ruang/kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Keadaan ini sangat identik dengan pemikiran singkat yang kerap dilakukan secara intuitif oleh manusia. Hal itu dibutuhkan untuk menyederhanakan hal-hal kompleks yang tidak terhindarkan atau ketika butuh menentukan keputusan secara cepat.

Meskipun tidak dipungkiri adanya potensi positif dari hasil intuisi tersebut, dalam keadaan tertentu kecenderungan negatif justru lebih mendominasi. Sekadar perbandingan sederhana, mungkin dalam keadaan genting dan dalam himpitan waktu yang singkat, stereotip sangat dibutuhkan demi lahirnya keputusan refleks. Dalam hal ini potensi benar dan salah menjadi seimbang (lebih bersifat subjektif individual). Di sisi lain, akan berdampak sangat negatif jika digunakan sebagai alternatif utama dalam penelaahan yang jauh lebih rumit, ruang yang luas, dan membutuhkan waktu lebih panjang. Misalnya, dalam persoalan sosial yang dapat secara langsung berdampak pada kemasyarakatan.

Menyimak perjalanan politik yang ada saat ini–khsusunya di Indonesia–kita tentu dipusingkan oleh pertarungan tidak sehat yang kerap dipraktikkan oleh berbagai oknum dan kelompok politik. Bahkan yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat sebagai objek sekaligus simpatisan politik. Mereka adalah penyumbang suara yang secara khusus menjadi penentu kalah dan menangnya kandidat. Dilematisnya, kecenderungan pemahaman politik mereka yang boleh dikata jauh dari kata “paham” kerap digunakan sebagai dasar untuk menganalisa informasi secara brutal. Tidak ada filter dan pertimbangan khusus dalam menelaah informasi yang kebanyakan tidak jelas asal-usulnya. Fakta-fakta unik semacam ini seringkali kita temukan dalam ruang media sosial, sebuah wadah yang sangat nyaman dalam penyebaran hoax. Kecenderungannya, ketika informasi yang didapatkan oleh orang tertentu dirasa sejalan dengan jalur politiknya, maka dengan sendirinya sebuah analisa subjektif lahir dan menjadi kebenaran baginya. Tidak ada kepedulian sama sekali untuk mempertimbangkan akan adanya fakta empirik lain yang lebih otentik. Asalkan sejalan dengan jalur fanatisme politik dirinya, maka itulah realitas kebenarannya. Parahnya lagi, kebenaran subjektif yang berpotensi hoax tersebut disebarkan melalui berbagai bentuk interaksi sosial.

Di kehidupan sehari-hari kita kerap menyaksikan penyebaran hoax yang tidak terkontrol. Informasi liar itu terus menggelinding, semakin membesar, hingga merobohkan apa saja yang sudah dilaluinya. Keberadaan media sosial adalah mesin utama yang membantu merealisasikan berbagai kekacauan dan kerusakan berpikir itu. Pada akhirnya fenomena “konfirmasi bias” menjadi hal yang wajar dan biasa saja, meskipun jelas-jelas menimbulkan fitnah dan perpecahan. Hal yang semakin mengkhawatirkan, stereotip manusia merupakan bagian yang identik dengan self defense mechanism. Suatu tindak penyembunyian kelemahan diri yang cenderung dengan jalan merendahkan orang lain. Persoalan inilah yang kemudian berkembang dalam ranah lebih luas, yakni melakukan pembelaan kelompok dengan menekan/merendahkan kelompok lain. Sebuah kompleksitas masalah yang real saat ini dan seringkali kita berhadapan langsung dengannya.

Secara umum subjektivitas masyarakat dalam mendukung dan memilih tokoh politik yang diunggulkan tidak bisa dihindari. Menjelang proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu misalnya, seolah-olah mereka memiliki pemahaman paten bahwa kebenaran mutlak adalah milik mereka dan golongannya, sementara golongan lain adalah sebaliknya. Meskipun dalam realitasnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya masing-masing calon pemimpin negara memiliki keunggulan dan kelemahan yang dapat dibuktikan secara historis. Belum lagi jika sudah masuk pada ranah partai pengusung dan partai pendukung dalam kompetisi politik tersebut, tentu persoalan adanya kelemahan dan kelebihan masing-masing sudah jelas rekam jejaknya. Melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa dalam berpolitik masyarakat kita saat ini tidak dapat memisahkan antara dukungan murni dengan fanatisme dan diskriminasi politik. Parahnya lagi, kondisi ini ada juga yang menyadari, namun mereka memilih mengabaikan. Keadaan inilah yang tercermin di berbagai media, fitnah yang satu bersitegang dengan fitnah-fitnah lainnya.

Sebagai masayarakat yang setiap harinya bergelut di ruang media sosial, sudah selayaknya kita dapat mengidentifikasi persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dalam berpolitik yang sehat. Adanya kesadaran yang demikian itu akan dengan sendirinya menekan tingkah laku oknum yang tidak bertanggungjawab dalam menebarkan kebohongan. Bukankah kadang kita berteriak “jengah” dengan janji-janji politik yang selangit itu? Tapi toh kenapa kita tidak pernah mengurai kausalitas yang tidak bisa lepas dari respon itu sendiri?

Sahabat pembaca yang bijak, tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga memiliki keterlibatan khusus atas tingkahlaku politisi negeri ini. Melalui media sosial, warung kopi, dan ruang lainnya, dimensi stereotip kita bahkan secara sadar telah menambahkan kayu bakar dalam amuk api politik yang sedang menyala. Satu-satunya hal yang tidak kita sadari, bahwa dengan mencerca tokoh-tokoh dan pelaku kolektif perpolitikan negeri ini, kita sedang mencerca dan menyudutkan diri kita sendiri. Bijaknya kita berpikir, janji-janji manis selangit yang mereka tawarkan juga muncul tidak lepas dari kegaduhan “romantisme stereotip dan subjektivitas politik” yang telah kita bangun beberapa waktu sebelumnya. Janji-janji politik yang semakin hari kian meninggi dan saling beradu antara satu politisi dengan politisi lainnya, nyatanya banyak berujung pada sekadar kompetisi janji manis.

Fenomena ini adalah hal yang sebenarnya tidak pernah kita inginkan, tapi atas alasan kepentingan, cari aman, dan lain hal, kadang dapat melarutkan kesadaran kita untuk menjadi acuh. Jika memang kita masih menghendaki negeri ini dapat lebih baik dari sebelumnya, apa salahnya jika kita mulai meninggalkan praktik-praktik politik negatif yang selama ini dilakoni. Menyudahi peran aktif kita dalam menyulut api politik akan sangat bijak adanya. Setidaknya dengan kecerdasan politik semacam itu kita dapat mengurangi ambisi mereka untuk menebar janji selangit. Bahkan, sebenarnya bisa meminimalisir segala resiko buruk lainnya dalam masyarakat. Anggap saja tindakan kesadaran ini akan menjadi kado termanis untuk anak cucu kita kelak. Sebuah bukti bahwa api jiwa patriotisme di negeri ini–Indonesia–jauh lebih berhak untuk dibarakan, ketimbang mengikuti arus fitnah-fitnah politik yang sudah tidak terkendali.

2 komentar:

  1. Saya sudah membacanya Ustadz, analisis calon ayah. Jos.😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha... makasih ustadz, efek jurus tulis apa aja.

      Hapus