Selasa, 23 Juni 2020

Dimensi Stereotip dalam Politik Negeri

Oleh Misbahuddin

Stereotip merupakan bentuk penilaian kepada seseorang yang hanya didasari oleh persepsi terhadap ruang/kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Keadaan ini sangat identik dengan pemikiran singkat yang kerap dilakukan secara intuitif oleh manusia. Hal itu dibutuhkan untuk menyederhanakan hal-hal kompleks yang tidak terhindarkan atau ketika butuh menentukan keputusan secara cepat.

Meskipun tidak dipungkiri adanya potensi positif dari hasil intuisi tersebut, dalam keadaan tertentu kecenderungan negatif justru lebih mendominasi. Sekadar perbandingan sederhana, mungkin dalam keadaan genting dan dalam himpitan waktu yang singkat, stereotip sangat dibutuhkan demi lahirnya keputusan refleks. Dalam hal ini potensi benar dan salah menjadi seimbang (lebih bersifat subjektif individual). Di sisi lain, akan berdampak sangat negatif jika digunakan sebagai alternatif utama dalam penelaahan yang jauh lebih rumit, ruang yang luas, dan membutuhkan waktu lebih panjang. Misalnya, dalam persoalan sosial yang dapat secara langsung berdampak pada kemasyarakatan.

Menyimak perjalanan politik yang ada saat ini–khsusunya di Indonesia–kita tentu dipusingkan oleh pertarungan tidak sehat yang kerap dipraktikkan oleh berbagai oknum dan kelompok politik. Bahkan yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat sebagai objek sekaligus simpatisan politik. Mereka adalah penyumbang suara yang secara khusus menjadi penentu kalah dan menangnya kandidat. Dilematisnya, kecenderungan pemahaman politik mereka yang boleh dikata jauh dari kata “paham” kerap digunakan sebagai dasar untuk menganalisa informasi secara brutal. Tidak ada filter dan pertimbangan khusus dalam menelaah informasi yang kebanyakan tidak jelas asal-usulnya. Fakta-fakta unik semacam ini seringkali kita temukan dalam ruang media sosial, sebuah wadah yang sangat nyaman dalam penyebaran hoax. Kecenderungannya, ketika informasi yang didapatkan oleh orang tertentu dirasa sejalan dengan jalur politiknya, maka dengan sendirinya sebuah analisa subjektif lahir dan menjadi kebenaran baginya. Tidak ada kepedulian sama sekali untuk mempertimbangkan akan adanya fakta empirik lain yang lebih otentik. Asalkan sejalan dengan jalur fanatisme politik dirinya, maka itulah realitas kebenarannya. Parahnya lagi, kebenaran subjektif yang berpotensi hoax tersebut disebarkan melalui berbagai bentuk interaksi sosial.

Di kehidupan sehari-hari kita kerap menyaksikan penyebaran hoax yang tidak terkontrol. Informasi liar itu terus menggelinding, semakin membesar, hingga merobohkan apa saja yang sudah dilaluinya. Keberadaan media sosial adalah mesin utama yang membantu merealisasikan berbagai kekacauan dan kerusakan berpikir itu. Pada akhirnya fenomena “konfirmasi bias” menjadi hal yang wajar dan biasa saja, meskipun jelas-jelas menimbulkan fitnah dan perpecahan. Hal yang semakin mengkhawatirkan, stereotip manusia merupakan bagian yang identik dengan self defense mechanism. Suatu tindak penyembunyian kelemahan diri yang cenderung dengan jalan merendahkan orang lain. Persoalan inilah yang kemudian berkembang dalam ranah lebih luas, yakni melakukan pembelaan kelompok dengan menekan/merendahkan kelompok lain. Sebuah kompleksitas masalah yang real saat ini dan seringkali kita berhadapan langsung dengannya.

Secara umum subjektivitas masyarakat dalam mendukung dan memilih tokoh politik yang diunggulkan tidak bisa dihindari. Menjelang proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu misalnya, seolah-olah mereka memiliki pemahaman paten bahwa kebenaran mutlak adalah milik mereka dan golongannya, sementara golongan lain adalah sebaliknya. Meskipun dalam realitasnya, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya masing-masing calon pemimpin negara memiliki keunggulan dan kelemahan yang dapat dibuktikan secara historis. Belum lagi jika sudah masuk pada ranah partai pengusung dan partai pendukung dalam kompetisi politik tersebut, tentu persoalan adanya kelemahan dan kelebihan masing-masing sudah jelas rekam jejaknya. Melihat kenyataan yang ada, dapat dikatakan bahwa dalam berpolitik masyarakat kita saat ini tidak dapat memisahkan antara dukungan murni dengan fanatisme dan diskriminasi politik. Parahnya lagi, kondisi ini ada juga yang menyadari, namun mereka memilih mengabaikan. Keadaan inilah yang tercermin di berbagai media, fitnah yang satu bersitegang dengan fitnah-fitnah lainnya.

Sebagai masayarakat yang setiap harinya bergelut di ruang media sosial, sudah selayaknya kita dapat mengidentifikasi persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dalam berpolitik yang sehat. Adanya kesadaran yang demikian itu akan dengan sendirinya menekan tingkah laku oknum yang tidak bertanggungjawab dalam menebarkan kebohongan. Bukankah kadang kita berteriak “jengah” dengan janji-janji politik yang selangit itu? Tapi toh kenapa kita tidak pernah mengurai kausalitas yang tidak bisa lepas dari respon itu sendiri?

Sahabat pembaca yang bijak, tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga memiliki keterlibatan khusus atas tingkahlaku politisi negeri ini. Melalui media sosial, warung kopi, dan ruang lainnya, dimensi stereotip kita bahkan secara sadar telah menambahkan kayu bakar dalam amuk api politik yang sedang menyala. Satu-satunya hal yang tidak kita sadari, bahwa dengan mencerca tokoh-tokoh dan pelaku kolektif perpolitikan negeri ini, kita sedang mencerca dan menyudutkan diri kita sendiri. Bijaknya kita berpikir, janji-janji manis selangit yang mereka tawarkan juga muncul tidak lepas dari kegaduhan “romantisme stereotip dan subjektivitas politik” yang telah kita bangun beberapa waktu sebelumnya. Janji-janji politik yang semakin hari kian meninggi dan saling beradu antara satu politisi dengan politisi lainnya, nyatanya banyak berujung pada sekadar kompetisi janji manis.

Fenomena ini adalah hal yang sebenarnya tidak pernah kita inginkan, tapi atas alasan kepentingan, cari aman, dan lain hal, kadang dapat melarutkan kesadaran kita untuk menjadi acuh. Jika memang kita masih menghendaki negeri ini dapat lebih baik dari sebelumnya, apa salahnya jika kita mulai meninggalkan praktik-praktik politik negatif yang selama ini dilakoni. Menyudahi peran aktif kita dalam menyulut api politik akan sangat bijak adanya. Setidaknya dengan kecerdasan politik semacam itu kita dapat mengurangi ambisi mereka untuk menebar janji selangit. Bahkan, sebenarnya bisa meminimalisir segala resiko buruk lainnya dalam masyarakat. Anggap saja tindakan kesadaran ini akan menjadi kado termanis untuk anak cucu kita kelak. Sebuah bukti bahwa api jiwa patriotisme di negeri ini–Indonesia–jauh lebih berhak untuk dibarakan, ketimbang mengikuti arus fitnah-fitnah politik yang sudah tidak terkendali.

Selasa, 16 Juni 2020

Belajar Kualitas dari Penjajah

Oleh Misbahuddin

Menurut J.M.J. Pantouw, data yang memuat perjalanan kopra masa kolonial di Nusantara sangat terbatas. Literatur awal yang dapat diperoleh terkait keberadaan kopra era kolonial adalah “Een Pracische Handdleiding Over de Cocos Cultuur” tulisan E. Bolen tahun 1908 dan “Cocos Nucifera; Handboek voor de Kennis van den Cocos-Palm in Netherlands-Indie, Zijn Geschiedenis, Beschrijving, Cultuur, en Producten” oleh F.W.T. Hunger tahun 1916. Melalui tulisannya, Hunger menyatakan bahwa pelopor yang berperan dalam pengembangan kelapa di Nusantara (budidaya kelapa secara sistematis) adalah Moluksche Handels Maatshappij (MHM). Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke 19 – di banyak tempat – negeri ini telah dilakukan penyadaran tentang makna penting kualitas. Memiliki tanaman kelapa yang ditanam, dirawat, dan diolah secara baik pasti akan memberikan hasil dengan kualitas terjamin. Hasil akhirnya tentu saja akan menjurus pada keuntungan maksimal.

Keadaan yang diuraikan sebelumnya dapat dikaitkan dengan adanya berbagai rintisan penanaman pohon kelapa oleh pemerintah kolonial Belanda awal abad ke-18.  Ada beberapa langkah awal yang diambil di beberapa wilayah, misalnya; (1) penanaman minimal 300 pohon kelapa pada perkampungan baru, (2) setiap orang yang akan menikah diharapkan terlebih dahulu menanam satu atau dua pohon kelapa di tanahnya sendiri, (3) bagi orang yang akan menikah diwajibkan mengambil bibit kelapa dari penghulu untuk ditanam pada tanah milik pejabat yang ditentukan. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah awal yang ditempuh pemerintah kolonial untuk meningkatkan jumlah tanaman kelapa.

Pada fase berikut, mereka kemudian menerapkan regulasi perawatan tanaman kelapa. Di Ternate misalnya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan penanaman kelapa, yakni “Peraturan Penanaman Kelapa dan Perdagangan Kopra di  Keresidenan Ternate dan Sekitarnya”. Secara singkat, kebijakan itu dapat diuraikan sebagai berikut; (1) para pemilik, penyewa, dan pemakai  tanah, wajib membersihkan kebun kelapa miliknya agar gangguan hama tidak menular dan menjangkiti tanaman kelapa lain, tujuan utamanya ialah agar kumbang penyakit yang  sering mematikan kelapa di Ternate pada waktu itu dapat dicegah, (2) bagi penduduk yang  tidak membersihkan kebun dianggap melanggar dan akan membayar denda, yakni maksimal f25 untuk orang Eropa, sedangkan orang pribumi atau yang dipersamakan maksimal f10 (berlaku untuk pelanggaran pertama, pelanggaran berikutya denda akan dinaikkan sampai f50), (3) untuk mengefektifkan kebijakan tersebut, maka  di setiap distrik yang banyak ditumbuhi pohon kelapa dibentuk badan pengawas ketertiban kebun kelapa, (4) para pejabat dan petugas kepolisian berhak untuk memeriksa pekarangan, perkebunan, dan tanaman kelapa setiap pagi dan sore. Tindakan itu dimaksudkan untuk memastikan apakah aturan dalam ketentuan pembersihan kebun telah dipatuhi atau tidak, (5) pemilik kebun kelapa yang melanggar akan diberikan peringatan secara tertulis atas nama pemerintah distrik dan unsur yang terkait. Surat peringatan itu memuat  perintah agar dalam batas waktu tertentu dilakukan perbaikan seperti apa yang diperintahkan. Apabila dalam batas waktu itu perintah tersebut tidak diindahkan, maka teguran akan menyusul. Peraturan itu dimuat dalam Javasche Courant (30 hari sebelum peraturan dimulai), tujuannya ialah agar tidak ada pemilik kebun kelapa yang berpura-pura tidak mengetahuinya. Peraturan tersebut dicantumkan dalam surat kabar resmi dan diterjemahkan ke dalam bahasa lokal dan Cina.

Kemudian, dalam hal pengolahan juga dapat kita peroleh informasi dari aturan yang ditetapkan di Sumatera Barat, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan pemetikan buah kelapa dan pembuatan kopra, yakni; (1) daging kelapa harus dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari sebagai prioritas utama, untuk menghindari resiko adanya jamur pada daging kelapa, (2) daging kelapa yang dikeringkan dengan menggunakan asap sebaiknya tidak tersentuh api, tujuannya ialah untuk menghindari noda-noda hitam pada daging kelapa. Api harus dijaga untuk mencegah terlalu banyak asap dan menghindari terbakarnya daging kelapa, (3) kopra harus benar-benar kering sebelum meninggalkan tempat pengeringan untuk menghindari kelembaban yang menyebabkan kopra berjamur, (4) kopra harus ditampung di tempat yang terkena cukup udara dan cahaya, (5) memperjual belikan kopra yang belum kering, dihasilkan dari buah kelapa yang belum tua, kotor (bercampur tempurung) juga akan mendapat sanksi. Para Demang dan asistennya berhak memeriksa tempat pengeringan, bangunan, pekarangan, kebun, rumah, tempat pengolahan, dan kelayakan lokasi penampungan yang meyakinkan bagi para eksportir. Jika terjadi pelanggaran maka sanksi akan diterima dengan ganjaran f100 atau kurungan 8 hari bagi orang eropa, dan f100 untuk pribumi atau yang dipersamakan (jika tidak mampu maka akan dipekerjakan paksa pada proyek umum selama 30 hari tanpa upah).

Berdasarkan uraian aturan yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, secara sederhana memiliki tujuan umum sebagai berikut; (1) dengan mengawasi dan menekan jumlah kebun/tanaman kelapa yang ditanam secara berlebihan, akan memberikan peluang besar pada pemilik tanaman kelapa dalam memberikan perawatan maksimal terhadap lahan dan tanaman kelapanya, (2) melalui perawatan maksimal dan sistematis, hasil olahan kelapa (kopra) yang dihasilkan akan berkualitas tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa saat itu kopra adalah komoditi dagang yang sangat penting, sehingga kualitas selalu diutamakan, (3) tidak hanya pada penanaman dan perawatan, perhatian besar terhadap kondisi kopra saat diperjualbelikan menjadi penyempurna usaha pemerintah kolonial dalam menentukan kualitas akhir.

Meskipun diakui bahwa sejarah penjajahan Belanda telah menyisakan banyak dampak negatif, namun ada beberapa hal yang justru bisa berdampak sebaliknya. Perjalanan sejarah kopra era kolonial telah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat. Di masa lampau mereka telah menyiptakan standar tinggi dalam menghasilkan kopra berkualitas. Hal ini dapat menjadi bagian opsi solutif bagi kompleksitas permasalahan kopra di Indonesia. Pada kondisi kekinian, cerminan kualitas yang ditunjukkan masa lampau sudah sulit kita temukan. Sejujurnya kita harus mengakui kekalahan telak kopra masa kini atas kejayaannya di masa lampau. Dalam segala aspek; penanaman, pemetikan, dan pengolahan, serta pengawasan yang dilakukan secara tersistem, “kita benar-benar kalah”. Keberadaan sawit memang menjadi salah satu yang menjadi faktor merosotnya harga kopra, tetapi terlepas dari keadaan itu, harus diyakini bahwa kualitas tinggi tidak akan pernah tergeser dengan mudah oleh kemenangan produk massive.

Selasa, 09 Juni 2020

Istana Pasir

Oleh Misbahuddin

Akhir-akhir ini Dunia dipertontonkan fakta paling jahiliyah dalam sejarah umat manusia. Lakonnya diperankan oleh warga Hollywood yang lupa di zaman apa mereka hidup. Bukankan saat ini kita sudah berada di era yang non-inferior? Tetapi, nyatanya mereka terus merasa paling modern dengan mencerca fisik dan kultur bangsa lain. Sungguh kenyataan ini begitu telak, bahwa manusia-manusia ini masih lebih primitif dari yang pernah terbayangkan. Apakah mungkin kedangkalan ini sengaja dirawat demi budaya yang Amerika-sentris? Entahlah, rasisme dan xenophobia masih begitu sulit dilepaskan dari sejarah kecacatan batin masyarakatnya. Hal yang pasti, diskriminasi sosial, segregasi, dan kekerasan rasial akan terus menjadi bagian tidak terpisahkan di negeri itu. Mereka yang terlanjur melegitimasi suku dan rasnya sendiri, tentu harus siap mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah bisa dituntaskan.

Koar humanisme mereka terlihat tidak lebih dari kepulan asap cerutu pecundang yang membual dan impulsif. Nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, demokrasi dan lainnya mereka pajang dalam keadaan mabuk sambil menutup mata dan kuping. Tidak heran, jika secara historis kedangkalan mereka tidak pernah bisa memahami situasi sesama. Mereka dengan sombongnya menebar polemik baru di atas drama pandemi yang belum tuntas ini. Ketika kehidupan manusia di luar sana banyak yang terancam, mereka justru sibuk menebar kebencian pada sesama.

Umat Islam tentu tidak boleh terbawa dalam idiom Amerika itu. Jagan sampai terlalu tenggelam dalam pusaran kemajuan peradaban yang mereka capai. Pasrah tidak boleh jadi pilihan, apalagi membiarkan negeri ini terbenam dalam samudera hedonisme dan kebebasan yang tidak terkendali. Kesadaran bahwa tidak semua yang dari mereka itu boleh diikuti harus tetap terjaga. Autentisitas keislaman harus dipahami dan diperlihatkan. Mereka harus kembali belajar untuk mengingat, bahwa jauh sebelum mereka mengenal adab, umat Islam telah menyelesaikan semua persoalan ini.

Momentum Iqra’ yang merengkuh jiwa Muhammad s.a.w., sekaligus menjadi penanda terbukanya pintu keadaban terbaik dalam sejarah umat manusia. Di tengah eskatologi jahiliyah, dialah satu-satunya yang bangkit merangkul manusia di segala paras, suku, dan golongan. Dalam hegemoni dan tekanan suku-suku terkuat, ia tetap mengajarkan cinta dan kesamaan derajat di hadapan Yang Maha Tunggal. Bersamaan dengan itu semua, sampai saat ini Islam mampu menjadi cermin bagi seluruh umat manusia.

Peristiwa yang dialami Bilal harusnya menjadi ingatan abadi paras musafir peradaban. Bilal seorang Abissina/Utopia berkulit gelap yang berhasil membungkam kecongkakan etnosentrisme Quraisy. Ia adalah mantan budak yang memanjat Ka’bah dan mengumandangkan adzan sesaat setelah Fath al-Makkah. Sebuah legitimasi kesamaan hak dalam Islam yang tuntas ia perlihatkan di hadapan para pemuja suku.

Di era ini, umat manapun tidak akan melupakan nama Al-Faruq, Umar. Ia adalah salah satu penguasa besar Dunia di masanya, penerus ajaran sang nabi yang begitu paham akan kemanusiaan. Tidak heran jika Kisra Persia dan penguasa Romawi begitu kagum dengan kepemimpinannya. Ia sosok keras dan tegas pada kemungkaran, namun hatinya akan menangis melihat pengemis Yahudi terlunta di jalanan kota Madinah. Persitiwa itu yang kelak menyiptakan kebijakannya, bahwa dalam Bait al-Mal terdapat hak para Ahlul Kitab. Jadi sekali lagi, Islam telah menuntaskan persoalan ini sejak berabad lalu.

Masih terlalu banyak teladan dalam Islam untuk persoalan rasis semacam ini. Titik peradaban telah bermula, meninggi, lalu berganti ke peradaban baru melalui tokoh-tokoh lintas masa dalam Islam. Waktu telah membuktikan segala kebenaran ini. Waktu juga yang telah menunjukkan runtuh dan hancurnya peradaban yang berdiri di atas congkak dan kesombongan golongan. Yakinlah bahwa Islam tidak pernah membangun peradaban dengan Istana Pasir bertiang rasisme. Sesungguhnya peradaban semacam itu hanya milik golongan bangsa yang bersujud pada berhala-berhala lamanya.

Rabu, 03 Juni 2020

Cermin Peradaban

Oleh: Misbahuddin

Selama ini kita banyak belajar tentang Peradaban Islam. Tatanan kehidupan yang hadir dengan semangat Alquran, meninggi dalam cinta ilahi, lalu runtuh dengan kompleksitas kekeliruan umat. Di masa terakhirnya, peradaban tinggi menjadi stagnan dan hampir kehilangan arah. Ada banyak persoalan yang melatarinya, mulai dari krisis moral, penguasa lalim, perang saudara, serta penyakit jahiliyah kronis lainnya. Situasi ini menunjukkan, bahwa sebelum peradaban asing datang meruntuhkannya, sebenarnya peradaban tinggi itu telah lebih dulu melakukan proses “bunuh diri.”

Sejarah telah banyak bercerita, di masa itu negeri-negeri Islam tiada hentinya berkubang tikai. Berbagai kekacauan internal sengaja dibudayakan demi ambisi pribadi dan kelompok tertentu. Mereka sering menyampingkan tujuan utama, yakni menyiptakan sebuah peradaban yang senantiasa dipenuhi nilai keadaban. Kenyataannya, Mereka menggunakan kekuasaan dan ilmu pengetahuan untuk mengalirkan darah sesama, adudomba, dan menginjak nilai-nilai kemanusiaan.

Di masa keemasannya, Baghdad, Damaskus, dan Andalusia adalah kota kosmopolit yang menjadi poros dunia. Di dalamnya bergelora pencapaian ilmu pengetahuan dan berbagai kemegahan hidup. Tokoh-tokoh tersohor dunia banyak bermunculan dari kota-kota itu. Dunia bahkan mengidolakan dan mengejar mereka untuk sekadar mengais ilmu. Akan tetapi, sekali lagi semua itu nampak sia-sia, obsesi para maniak kekuasaan dan pemuja suku telah menelantarkan segala yang dicapai. Mereka secara sadar mengikis langit peradaban yang dirangkai oleh manusia-manusia terbaik Islam. Jika sudah seperti ini, tidak perlu menunggu lawan menghujam, tanpa dibunuhpun peradaban akan mati dengan sendirinya.

Fakta-fakta miris memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban lalu kita. Ketika Umawiyah memegang kendali kekuasaan, mereka dituding oleh banyak sejarawan sebagai perintis praktik kelaliman. Sebenarnya agak tabu, namun itulah faktanya. Atas alasan kekuasaan, pasukan Yazid bin Muawiyah berhasil memenggal kepala Al-Husain, cucu Rasulullah s.a.w. peristiwa ini bahkan masih menorehkan luka mendalam bagi para pengikutnya hingga saat ini. Di bawah kekuasaan Abdul Malik bin Marwan, pasukan Al-Hajjaj juga memenggal kepala putra sahabat Rasulullah di Makkah. Tubuh Abdullah bin Zubair disalib sambil meneriakkan takbir. Di waktu yang lain, perang saudara antara Al-Walid II dan Yazid III juga tidak luput menorehkan sejarah kelam. Kepala Al-Walid II dipenggal dan ditancapkan ke ujung tombak, kemudian diarak di jalanan pasar Kota Damaskus. Begitulah seterusnya hingga imperium besar Umawiyah dengan mudah dilengserkan klan Abbasiyah.

Masa Abbasiyah yang dikenal dengan masa keemasan Islam juga meninggalkan sejarah hitamnya. Ketika sisa-sisa keluarga besar Umawiyah–pasca keruntuhan Dinasti Umayyah–dijamu makan malam oleh Al-Saffah, tempat itu justru menjadi malam terakhir bagi mereka. Mereka dibantai dan dijadikan alas bersama lembaran permadani di ruang makan sang penguasa. Sama halnya dengan Umawiyah, imperium mereka pun diwarnai dengan aliran darah dari rangkaian perang saudara. Peperangan kedua purta Harun al- Rasyid adalah salah satu yang terburuk. Pertikaian antara Al-Amin dan Al-Ma’mun ini bahkan digelari sebagai “fitnah keempat” dalam Islam. Begitu juga dengan perang antara Al-Mu’taz dengan pamannya sendiri, Al-Musta’in. Seperti sebelumnya, perang perebutan kekuasaan itu juga diakhiri dengan kepala sang paman yang terpenggal.

Sisa-sia kekejian peradaban tersebut nampak terus berlanjut hingga saat ini, tentunya sudah dalam bentuk yang berbeda. Di masa modern, mereka telah bertransformasi menjadi kekuatan asing yang hidup dalam sebuah negara, termasuk di Indonesia. Kelompok itu membaiat diri sebagai perintis kebangkitan kedua peradaban Islam dan mencanangkan Khilafah Islamiyah sebagai inti doktrinnya. Masyarakat negeri yang begitu mencintai Islam nampak dengan mudah terpedaya. Kelompok itu mengetahui betul, bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa, semangat jihad pejuang Islam tidak bisa diragukan lagi. pintu inilah yang mereka manfaatkan dengan baik untuk merekrut massa pendukung. Mereka di godok untuk membenci demokrasi, berusaha melakukan pemberontakan, juga menebarkan berbagai terror paham kebencian.

Dalam perkembangannya, mereka kerap melontarkan kekecewaan mendalam atas carut-marut pemerintahan di negeri ini. Kekecewaan mereka terhadap demokrasi memang ada benarnya, namun keadaan itu tetap tidak tepat jika dijadikan alasan untuk menumpahkan darah atas nama Al-Quran dan Hadist. Paham demokrasi pada hakikatnya mengalami proses pendewasaan. Sistem ini dapat dengan sendirinya memperbaiki diri dalam perjalanan waktu. Di banyak momentum, sejarah Islam masa awal pun dipenuhi dengan nilai-nilai demokrasi. Lain halnya dengan paham khilafah yang mereka anut, sesuatu yang sudah dianggap final dan sempurna. Mereka membawa simbol-simbol militansi agresif yang mengukuhkan kekerasan dan kebencian sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebuah paham aneh yang Rasulullah Muhammad s.a.w., pun tidak pernah mengajarkannya.

Selasa, 26 Mei 2020

Islammu Islamku

Oleh: Misbahuddin

Panggil saya Ghaliyah. Usiaku masih sangat muda, 13 tahun, mungkin kita seusia. Seperti engkau, saya juga memiliki banyak teman. Kami sering melakukan banyak hal bersama, saling memberi, dan juga saling berkasihsayang. Saya tahu, kalian juga sering melakukan hal-hal seperti itu, Insya Allah. Meski demikian, saya merasa ada hal yang berbeda dari dunia kita. Banyak, namun kali ini saya ingin sekali bercerita tentang Islammu dan Islamku.

Saudaraku, udara di sini begitu menyesakkan. Cengkraman kabut tebal tiada hentinya mencekik, menyinggahi segala bangunan yang ada, hingga semesta pandangan terlihat suram. Tidak jarang mata ini pun perih dan merah berair dibuatya. Kuberitahu, kabutku berpasir pekat dari puing, hitam, dan hampa akan kesejukan. Kau dan udaramu tidak seperti ini bukan? Islammu, Islamku.

Saudaraku, angin di sini berbeda. Tiada nyanyian sejuk yang menyipta hembusan kedamaian jiwa. Satu-satunya yang selalu menerpa adalah sepoi kepiluan bersama rintih menyayat hati. Tentu ini bukan simfoni yang kalian suka. Kepiluan yang diiringi bising berdentum dan membawa kobaran api membara sepanjang siang dan malam. Saya bahkan tidak pernah berani bermimpi, untuk dapat terlelap oleh alunan syair-syair indah. Kulihat kau dan anginmu tidak begini, Islammu, Islamku.

Saudaraku, cerah di sini hanyalah kekhawatiran tidak berujung. Hidupku ada di bawah langit dan mentari yang suram tertetutup asap kehancuran. Tanah tanpa tanaman, kami bahkan makan dari belas kasih negeri lain. Di sekitarku senyum bahagia bisa seketika sirna, berubah menjadi ratap tangis kehilangan orang-orang terkasih. Lihatlah di jalanan kota, anak-anak meratapi jasad orang tuanya, seorang ayah mendekap anaknya yang bersimbah darah, dan seorang ibu meratapi suami dan anaknya yang sedang sekarat. Cerahmu tidak seperti ini bukan? Islammu, Islamku.

Saudaraku, malam di sini tidak pernah begitu terang. Kami lebih banyak menghias rumah-rumah dengan lentera seadanya. Satu-satunya cahaya terang bagiku adalah binar mata Ibuku. Ia yang terus mendekap, menenangkan, dan menaungi hati dengan lantun qalam Ilahi. Ia juga selalu menguatkan iman dan jiwaku, agar tetap tegar meratapi kakiku yang tidak lagi utuh. Ia tidak pernah lupa menutup sayatan malam dengan munajah. Bermohon pada Sang Maha Cinta untuk keselamatan kami, juga untuk ayah dan adik yang sudah lebih dahulu berpulang ke haribanNya. Malammu tidak akan pernah seperti ini, Islammu, Islamku.

Saudaraku, itulah sepenggal ceritaku saat ini. Jangan terlalu terbawa dalam cobaanku yang menyedihkan, namun pikirkanlah betapa besar anugerahNya kepadamu kini. Tenggelamkanlah segala kufur yang ada ke dalam samudera cintaNya. Jangan biarkan beningnya telaga syukurmu menghitam sepekat embun tirani yang menyelimutiku kini. Kukuhkanlah qalbumu merawat kesyukuran itu dalam menjalani kehidupan duniawi, agar kita tidak lagi berbeda, agar kita selalu kuat, dalam Islammu, Islamku.

Selasa, 19 Mei 2020

Ironi

Oleh: Misbahuddin


Hari ini saya ingin berbagi tulisan tentang potret kemoderenan dan Timur Tengah. Tulisan ini terinspirasi dari karya seni seorang seniman fotografi di Turki, Ugur Gallenkus. Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah karya dari akunnya (@ugurgallen) yang terpampang di laman pencarian instagram. Setelah menelusuri setiap postingannya, ternyata ia adalah seorang seniman bergenre humanis. Ia menjadikan seni sebagai wadah kritik atas krisis kemanusiaan di Timur Tengah. Hal inilah yang membuat saya berkeinginan untuk mengabadikan beberapa karyanya ke dalam bentuk tulisan.

Sebelum menulis tentang postingan yang bersangkutan, saya berusaha mengintip sedikit tentang biografinya. Ternyata, pria kelahiran Nigde/Turki tahun 1990 ini adalah seorang lulusan sekolah Administrasi Bisnis. Sama sekali jauh dari seni digital yang digelutinya saat ini. Ia belajar secara otodidak tentang seni kombinasi foto-foto hasil jepretan fotografer. Dari sinilah ia mulai menghasilkan banyak karya yang berkelas dan diminati banyak orang. Setiap foto yang ia gabungkan terlihat begitu rapi dan seolah menyatu sempurna. Sejauh ini karyanya berhasil menggiring dan memancing interpretasi banyak kalangan. Hal ini terlihat dari ribuan pujian dan komentar di kolom postingan media sosialnya. Menurut saya, ia adalah seorang seniman yang sangat kreatif. Dedikasinya pada seni membuatnya begitu total dalam memoles jepretan beberapa fotografer dan wartawan perang. Ia sangat piawai memadukan dua foto berbeda ke adalam satu bingkai utuh, sehingga sarat akan nilai seni dan lebih kaya makna. Hal inilah yang menurut saya layak untuk diberi apresiasi. Paling tidak bentuk apresiasi kecil yang bisa saya lakukan adalah menulis pesan yang tersirat dalam beberapa kolase digitalnya. Pesan yang berusaha dimaknai secara utuh, untuk dijadikan nyawa dalam tulisan ini.

Perhatian awal saya tertuju pada foto Liberty yang dua kali muncul dalam banyak postingannya. Kedua hasil karya ini sangat mirip. Foto patung ini berhasil dikombinasikan dengan foto lengan seorang tentara yang mendongakkan senjata AK-47 ke langit. Sementara diketahui, bahwa penampakan asli patung ini sebenarnya sedang menggenggam obor yang menyala. Saat pertamakali mengamatinya, aura tirani, kekerasan, dan gejolak konflik di dalamnya begitu terasa. Sejenak postingan ini terus berusaha meliarkan nalar. Benar-benar memberi isyarat, bahwa karya ini memang tidak hanya sekadar untuk dipandangi.

Penting diketahui, bahwa Patung Liberty adalah hadiah dari Perancis untuk AS sebagai simbol kebebasan. Tentu akan terlihat timpang dengan keberadaan senapan mesin di tangannya. Kesan alibi AS sebagai negeri tirani namun berkedok intrik pembebasan nampak sangat ingin ditonjolkan oleh sang seniman. Alih-alih menjadi icon kebebasan, patung paling populer di negeri Paman Sam itu justru terlihat tidak lebih sebagai arogansi dari legitimasi militer AS. Langit yang me-merah, kepulan asap, serta potongan mobil peluncur roket yang ada di sisi lain patung terlihat sangat identik dengan nuansa Timur Tengah. Keterangan tertulis dalam karya tersebut memang menginformasikan bahwa foto pelengkap itu adalah simbol perlawanan pendukung setia Khadafi (2011) dan operasi militer Iraq atas ISIS (2016).

Beberapa kalangan oksidentalis meyakini AS adalah sutradara pemegang kuasa atas kisah awal dan akhir dari peristiwa-peristiwa itu. Sejak dahulu AS selalu diyakini berperan dalam konspirasi konflik di Timur Tengah. Dalam karya Gallenkus, Patung Liberty sebagai simbol pembebasan justru ingin ditampilakan sebagai sosok solusi yang gagal dan penuh kemunafikan. Memang tidak ada alasan yang lebih kuat untuk hal ini, kecuali kenyataan bahwa para tuan rumah belum bisa merasakan idahnya kebebasan hidup.

Secara tidak langsung, gelora konflik di tanah Bulan Sabit Subur telah menjadi sarana ampuh untuk mematikan singa-singa padang pasir. Sejarah telah berbicara banyak untuk persoalan ini. Andalusia runtuh karena adanya konflik internal kerajaan. Begitu juga Konstantinopel, jatuh akibat pertentangan kepausan dengan para ortodoks Kristen. Di tanah para penakluk kini, politik adudomba dan konflik terus bergelora tiada henti. Di sana tidak lagi banyak kebun ilmu pengetahuan, kecuali hanya lahan-lahan subur tempat segala ironi itu tumbuh.

Membahas liberty dengan senjata di tangannya menjadi opening yang tepat. Karya-karya Gallenkus yang lainnya nampak sangat terikat dengan sentimennya terhadap AS. Berikut ini saya akan mencoba mengurai beberapa karya-karyanya agar tertulis sistematis. Nampaknya tidak salah jika ironi ini dimulai dari aspek pendidikan. Foto Anak-anak perempuan di peradaban seberang begitu gelisah menunggu Bus Sekolah tiba. Di negeri porak-poranda hal ini tidak berlaku. Bangunan runtuh menutupi sebagian besar jalanan, sehingga tidak ada Bus Sekolah berlalulalang. Gedung sekolah mereka pun penuh lubang akibat ditembus timah panas. Bahkan, mereka tidak punya cukup konsentrasi untuk sekadar belajar di kelas. Gedung usang itu adalah "kegelisahan" yang sewaktu-waktu bisa runtuh dibombardir rudal.

Di satu lokasi, terlihat potret pemuda membawa gitar spanyol bermoncong M-16. Anak seusia itu harusnya bersantai bersama kekasih dan mengalunkan melodi penuh romansa. Namun, di ruang lain ia hanyalah anak yang berambisi menembak mati para penjajah. Tatapannya begitu dingin, seolah rongga antara kematian dan dirinya hanya sekecil lubang peluru yang ada di dinding sekolah. Tidak pernah terdengar irama musik cinta, yang ada hanya suara tangisan pilu dan dentuman meriam tank-tank penghancur. Di pose lainnya, ada perbedaan yang terlihat sangat kontras. Betapa riangnya ketika bersenam yoga bersama kawan-kawan seusia, namun nyatanya itu semua harus diterima sebagai bunga tidur. Mereka yang dilanda tirani harus merentangkan tangan di tanah sendiri, agar para tentara leluasa menggeledah tubuhnya. Tidak ada keriangan yang terpancar, kecuali dendam dan kebencian yang sukses menjalankan perannya sebagai ilusi hidup yang terus berkembang.

Mari beranjak sejenak, menilik dunia para vandalis yang tidak ingin luput terlibat. Ketika grafiti menjadi coretan populer di tembok-tembok sudut kota modern, anak kecil berkulit kusam justru tertunduk lesuh di depan tembok usang bergambar Scale RPG-7. Ya, ia baru saja menggambar sang Bazooka Launcher anti tank itu dengan menggunakan arang serpihan ledakan. Menyedihkan, mungkin tidak ada warna biru langit, pelangi, dan balon di pikirannya saat itu. Entah imajinasi dan inspirasi ngeri apa lagi yang akan lahir dari kepala sang anak kelak.

Di sebuah potret dari dunia seberang, Donal Trump tidak begitu peduli dengan segala kehancuran itu. Ia nampak tetap memasang wajah garang dengan bongkahan gunung es Artik di kepalanya. Tirani terlihat semakin membatu dan membekukan otak yang jarang tersentuh hati itu. Sudah dapat dipastikan, bahwa akan sangat sulit berbicara tentang cinta dan kasih sayang sesama kepadanya. Birahi kuasanya telah memuncak dan jauh lebih tinggi dari apapun. Kebekuan tinggal menunggu sedikit waktu untuk menutupi jiwa raganya.

Sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengangkat potret lukisan Bunda Maria yang dikombinasi dengan pakaian putih berlumur darah. Inilah gambaran miris, betapa mereka (penyembah tirani) tidak pernah meresapi pesan kebaikan yang dibawa oleh semua ajaran agama. Tidak peduli ketika kesucian agama ternoda atas sikap mereka yang terus menindas. Lalu, dengan sombongnya mengaku Tuhan menghendaki itu semua.